Site icon BeritaViva24

Harga Pangan Global Turun Lagi Karena Pasokan Kuat, Produksi Sereal Rekor: Food And Agriculture Organization (FAO)

Harga Pangan Global Turun Lagi karena Pasokan Kuat, Produksi Sereal Rekor: Food and Agriculture Organization (FAO)
Harga Pangan Global Turun Lagi Karena Pasokan Kuat, Produksi Sereal Rekor: Food And Agriculture Organization (FAO)

Harga Pangan Global, laporan terbaru dari Food and Agriculture Organization (FAO) memperlihatkan pergeseran besar dalam lanskap pangan dunia. Indeks Harga Pangan FAO (FAO Food Price Index / FFPI), yang melacak harga internasional untuk berbagai komoditas utama seperti sereal, minyak nabati, produk susu, daging, dan gula, turun menjadi 126,4 poin pada Oktober 2025 — level terendah sejak pertengahan 2021.

Secara rinci, harga sereal turun 1,3%, mencerminkan peningkatan pasokan gandum dan jagung dari Amerika Selatan, Amerika Utara, serta Eropa Timur. FAO menyebut bahwa penghapusan sebagian besar pembatasan ekspor dari Rusia dan Ukraina setelah kesepakatan Laut Hitam yang baru pada Juli 2025 membantu memulihkan arus perdagangan gandum dunia. Di sisi lain, harga gula jatuh 5,3%, penurunan bulanan terbesar dalam hampir lima tahun terakhir, karena pasokan dari Brasil dan India meningkat pesat berkat musim panen tebu yang optimal.

Harga produk susu dan daging juga mencatat penurunan, masing-masing sebesar 1,5% dan 1,1%. FAO menilai hal ini sebagai tanda bahwa biaya energi dan pakan ternak yang lebih rendah telah mengurangi tekanan harga di sektor tersebut. Namun, harga minyak nabati menjadi satu-satunya yang naik, yakni sebesar 0,9%, di dorong oleh peningkatan permintaan minyak sawit dan kedelai untuk industri biodiesel di Asia Tenggara dan China.

Selain faktor produksi, kestabilan logistik dan distribusi internasional turut mempercepat penurunan harga. Setelah dua tahun penuh gangguan akibat pandemi, pelabuhan utama dunia seperti Rotterdam, Shanghai, dan Los Angeles kini beroperasi dengan kapasitas hampir penuh. Tarif pengiriman kontainer juga turun lebih dari 40% di bandingkan tahun sebelumnya, mempermudah arus ekspor-impor bahan pangan antar-benua.

Harga Pangan Global, FAO memperingatkan, meskipun kondisi pasar tampak lebih tenang, risiko tetap ada. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan Eropa Timur tetap menjadi faktor penentu dalam stabilitas harga global, terutama untuk gandum dan minyak nabati.

Produksi Sereal Dunia Cetak Rekor Tertinggi: FAO Prediksi 2,99 Miliar Ton Di Tahun 2025

Produksi Sereal Dunia Cetak Rekor Tertinggi: FAO Prediksi 2,99 Miliar Ton Di Tahun 2025, FAO memperkirakan bahwa total produksi sereal dunia tahun 2025 mencapai 2,99 miliar ton, meningkat sekitar 4,4% di banding tahun sebelumnya. Ini menjadi rekor tertinggi dalam sejarah pencatatan FAO yang di mulai sejak 1961. Peningkatan ini terutama di sebabkan oleh panen besar di Amerika Selatan, pemulihan hasil di Asia, serta kondisi cuaca yang relatif bersahabat di sebagian besar belahan utara bumi.

Produksi gandum global meningkat tajam menjadi sekitar 800 juta ton, terutama karena lonjakan hasil di Rusia, Kanada, dan Australia. Rusia bahkan melaporkan produksi 96 juta ton — tertinggi sepanjang masa. Jagung menyumbang porsi terbesar, sekitar 1,23 miliar ton, dengan kenaikan terbesar datang dari Brasil dan Amerika Serikat.

Sementara itu, produksi beras dunia mencapai 532 juta ton, naik tipis 1,2% di banding 2024. Kenaikan ini di sokong oleh panen baik di India dan Indonesia. Yang mampu mengimbangi penurunan di Pakistan akibat banjir di Punjab. FAO menyoroti bahwa peningkatan ini memperkuat rasio stok terhadap penggunaan sereal global (stock-to-use ratio) menjadi 31,1%. Artinya dunia kini memiliki cadangan pangan yang relatif aman.

Di satu sisi, Indonesia dan Vietnam mampu menjaga stok beras dalam negeri di atas kebutuhan rata-rata, membantu pemerintah menekan inflasi pangan. Namun, di sisi lain, harga gabah di tingkat petani menurun, membuat margin keuntungan semakin tipis.

Selain sereal, komoditas pertanian lain seperti kedelai dan gula juga mengalami lonjakan produksi signifikan. Brasil mencatat ekspor kedelai mencapai 100 juta ton pada 2025. Sementara India memecahkan rekor produksi gula nasionalnya sebesar 37 juta ton.

Banyak analis menyoroti bahwa peningkatan produktivitas global sebagian besar berasal dari intensifikasi penggunaan lahan dan pupuk kimia. Yang dalam jangka panjang bisa berdampak negatif terhadap kualitas tanah dan keberlanjutan lingkungan. FAO menekankan pentingnya “pertanian berkelanjutan” yang menyeimbangkan antara kebutuhan produktivitas dan konservasi sumber daya alam.

Dampak Bagi Negara Berkembang: Antara Peluang Ekonomi Dan Ancaman Untuk Petani

Dampak Bagi Negara Berkembang: Antara Peluang Ekonomi Dan Ancaman Untuk Petani, penurunan harga pangan global membawa dampak beragam bagi negara berkembang. Bagi importir seperti Indonesia, penurunan harga beras, gandum, dan gula jelas menguntungkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi bahan makanan di Indonesia pada Oktober 2025 turun menjadi 1,74% (year-on-year), level terendah dalam tiga tahun terakhir. Pemerintah menilai kondisi ini membantu menstabilkan harga di pasar domestik dan mengurangi tekanan terhadap subsidi pangan.

Namun, bagi petani kecil, situasinya tidak seindah itu. Saat harga internasional turun, harga jual hasil panen domestik ikut melemah. Sementara biaya input seperti pupuk, air irigasi, dan bahan bakar tetap tinggi. Akibatnya, margin keuntungan menurun tajam. Beberapa kelompok tani di Jawa Tengah melaporkan bahwa pendapatan mereka menurun hingga 10% di banding tahun lalu meskipun produksi meningkat.

Di sisi ekspor, negara seperti Thailand dan Vietnam menghadapi tantangan besar. Harga beras internasional yang turun lebih dari 5% sejak Agustus menyebabkan nilai ekspor menurun. Meski volume ekspor tetap tinggi, nilai devisa yang di peroleh menurun. Asosiasi Eksportir Beras Thailand (TREA) menyatakan bahwa pendapatan ekspor beras mereka turun hampir USD 1,2 miliar di banding 2024.

FAO juga mencatat bahwa tren penurunan harga belum sepenuhnya berdampak pada perbaikan gizi global. Lebih dari 780 juta orang di dunia masih mengalami kelaparan kronis, dan 2,3 miliar orang menghadapi kesulitan mengakses makanan bergizi secara konsisten.

Bagi Indonesia, kondisi ini menjadi peringatan. Pemerintah harus memastikan bahwa harga yang stabil di pasar internasional benar-benar di rasakan masyarakat kelas bawah. Program seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) perlu di perkuat agar manfaat penurunan harga bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Prospek Dan Tantangan Ke Depan: Stabilitas Semu Atau Awal Era Baru Pangan Dunia?

Prospek Dan Tantangan Ke Depan: Stabilitas Semu Atau Awal Era Baru Pangan Dunia? FAO menilai bahwa kondisi saat ini merupakan masa transisi menuju stabilitas jangka menengah, tetapi belum bisa disebut sebagai titik aman. Ada empat faktor risiko besar yang dapat membalikkan tren positif ini: perubahan iklim, geopolitik, energi, dan spekulasi pasar.

Pertama, perubahan iklim ekstrem menjadi ancaman nyata. Fenomena El Niño yang sedang berlangsung sejak pertengahan 2024 masih berdampak pada pola hujan di Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Jika fenomena ini berlanjut hingga 2026, hasil panen beras dan jagung dapat kembali menurun, memicu lonjakan harga baru.

Kedua, ketegangan geopolitik masih belum sepenuhnya reda. Ketidakpastian di Laut Hitam—rute utama ekspor gandum dari Rusia dan Ukraina—serta konflik di Timur Tengah dapat mengganggu rantai pasok global kapan saja. Negara-negara seperti Mesir, Turki, dan Lebanon, yang sangat bergantung pada gandum impor, akan sangat rentan terhadap fluktuasi tersebut.

Ketiga, harga energi masih menjadi faktor kunci. Meskipun harga minyak mentah global stabil di kisaran USD 82 per barel, biaya energi tinggi dapat memengaruhi produksi pupuk dan transportasi pangan. FAO memperkirakan bahwa setiap kenaikan 10% harga minyak bisa mendorong harga pangan naik 1,5–2% dalam jangka pendek.

Keempat, aktivitas spekulatif di pasar komoditas berjangka juga bisa mengguncang harga. Sejak 2021, investor institusional semakin aktif dalam perdagangan kontrak berjangka pangan. Meskipun mekanisme ini membantu menjaga likuiditas pasar, spekulasi berlebihan dapat mempercepat volatilitas harga jika sentimen berubah mendadak.

Pada akhirnya, FAO menegaskan bahwa harga pangan yang rendah bukanlah tujuan akhir, tetapi indikator stabilitas global yang rapuh. Dunia kini memasuki fase baru. Di mana ketahanan pangan tidak hanya di ukur dari ketersediaan dan harga, tetapi juga dari kemampuan setiap negara untuk menjaga keberlanjutan, mengurangi ketimpangan, dan memastikan akses bagi semua orang Harga Pangan Global.

Exit mobile version