
News

Ketimpangan Akses Internet Hambat Pengembangan AI
Ketimpangan Akses Internet Hambat Pengembangan AI

Ketimpangan Akses Internet masih menjadi salah satu hambatan terbesar bagi pengembangan teknologi di Indonesia, termasuk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Meski laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan penetrasi internet nasional telah mencapai lebih dari 77% pada 2024, kenyataannya distribusi layanan ini masih timpang. Kota-kota besar di Pulau Jawa dan sebagian Sumatra menikmati koneksi cepat dan stabil, sementara banyak wilayah di Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua masih kesulitan mendapatkan jaringan yang layak.
Ketimpangan ini berpengaruh besar terhadap ekosistem digital. Industri AI membutuhkan ketersediaan data yang masif, koneksi berkecepatan tinggi, dan infrastruktur komputasi yang handal. Namun, tanpa akses internet yang merata, peluang untuk membangun pusat riset atau pengembangan startup AI di luar kota besar menjadi sangat terbatas. Akibatnya, pertumbuhan inovasi terpusat di segelintir wilayah, menciptakan jurang digital antara daerah maju dan tertinggal.
Selain infrastruktur, faktor ekonomi juga berperan. Harga paket data di beberapa daerah masih relatif tinggi di bandingkan daya beli masyarakat. Misalnya, biaya internet satelit di Papua bisa mencapai dua kali lipat lebih mahal daripada tarif rata-rata di Jakarta. Kondisi ini membuat masyarakat di daerah tertinggal sulit memanfaatkan internet untuk kegiatan produktif, apalagi mengakses teknologi baru seperti pembelajaran mesin (machine learning) atau platform komputasi awan.
Masalah ketimpangan internet ini juga memengaruhi dunia pendidikan. Sekolah di perkotaan bisa mengintegrasikan AI ke dalam proses belajar, menggunakan aplikasi bimbingan daring atau perangkat adaptif berbasis data. Sebaliknya, sekolah di pedalaman masih bergantung pada metode konvensional karena akses internet terbatas. Ketidakmerataan ini menyebabkan jurang pengetahuan semakin lebar, yang pada gilirannya memperlambat proses adopsi teknologi AI secara nasional.
Ketimpangan Akses Internet menjadi tantangan mendasar yang harus di atasi jika Indonesia ingin memaksimalkan potensi AI. Tanpa internet merata, pengembangan AI akan hanya menjadi milik segelintir elit di perkotaan, sementara masyarakat luas hanya menjadi penonton.
Dampak Ketimpangan Akses Internet Digital Terhadap Pengembangan AI
Dampak Ketimpangan Akses Internet Digital Terhadap Pengembangan AI berdampak langsung pada pengembangan ekosistem AI. AI membutuhkan data dalam jumlah besar, kualitas jaringan yang stabil, serta akses ke perangkat keras dan perangkat lunak canggih. Jika konektivitas tidak merata, maka hanya wilayah tertentu yang bisa berpartisipasi dalam ekonomi digital berbasis AI.
Pertama, dari sisi industri. Startup yang ingin mengembangkan aplikasi AI memerlukan basis data pengguna yang luas dan beragam. Jika sebagian besar masyarakat di daerah tertentu tidak memiliki akses internet memadai, data yang terkumpul akan bias terhadap pengguna perkotaan. Hal ini menciptakan masalah representasi dalam model AI, di mana algoritma lebih memahami perilaku masyarakat kota tetapi gagal membaca kebutuhan masyarakat desa atau daerah terpencil. Dampaknya, teknologi AI yang di luncurkan sering kali tidak relevan dengan kebutuhan semua kalangan.
Kedua, dari sisi akademik. Banyak universitas di daerah kesulitan melakukan riset AI karena infrastruktur internet terbatas. Padahal, penelitian AI modern membutuhkan akses ke basis data internasional, jurnal ilmiah, serta komputasi awan (cloud computing). Tanpa fasilitas tersebut, mahasiswa dan dosen di daerah tidak bisa bersaing dengan rekan mereka di universitas besar yang berada di kota metropolitan. Ketimpangan ini memperlebar jarak kualitas pendidikan tinggi antarwilayah, yang berujung pada minimnya kontribusi daerah dalam pengembangan teknologi nasional.
Ketiga, dari sisi sosial-ekonomi. AI memiliki potensi besar untuk membantu sektor pertanian, perikanan, dan industri lokal. Misalnya, AI bisa digunakan untuk memprediksi cuaca, menganalisis kualitas tanah, atau meningkatkan produktivitas hasil panen. Namun, jika petani atau nelayan tidak memiliki akses internet stabil, maka mereka tidak bisa memanfaatkan teknologi tersebut. Akhirnya, kelompok masyarakat yang sebenarnya bisa sangat di untungkan oleh AI justru menjadi pihak yang tertinggal.
Upaya Pemerintah Dan Tantangan Infrastruktur
Upaya Pemerintah Dan Tantangan Infrastruktur menyadari betul bahwa ketimpangan digital dapat menghambat pengembangan teknologi masa depan. Sejumlah program strategis telah di luncurkan, mulai dari Palapa Ring yang membentangkan kabel serat optik nasional, hingga pembangunan ribuan menara BTS di wilayah 3T. Selain itu, pemerintah juga menggandeng perusahaan swasta untuk memperluas jaringan internet satelit sebagai solusi jangka pendek.
Meski demikian, berbagai upaya tersebut masih menghadapi tantangan besar. Pertama, masalah geografis. Indonesia adalah negara kepulauan dengan ribuan pulau dan kondisi alam yang bervariasi. Membentangkan kabel serat optik atau membangun BTS di daerah pegunungan dan pulau terpencil membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Tidak jarang, proyek infrastruktur internet terhambat oleh cuaca ekstrem atau kesulitan transportasi.
Kedua, masalah tata kelola. Beberapa proyek penyediaan internet untuk daerah 3T pernah tersandung kasus korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik serta memperlambat realisasi pembangunan. Padahal, tanpa tata kelola yang bersih, mustahil Indonesia bisa mengejar ketertinggalan infrastruktur digital.
Ketiga, masalah keberlanjutan. Infrastruktur internet membutuhkan biaya perawatan besar. Menara BTS di daerah terpencil sering kali terbengkalai karena biaya operasional tidak sebanding dengan jumlah pengguna. Perusahaan telekomunikasi swasta enggan berinvestasi di wilayah dengan jumlah pelanggan kecil, sehingga peran pemerintah menjadi sangat penting. Namun, beban fiskal negara tidak bisa terus-menerus menanggung biaya ini tanpa keterlibatan swasta yang lebih kuat.
Di sisi positif, ada perkembangan menarik dengan hadirnya proyek internet satelit global seperti Starlink. Beberapa daerah terpencil di Indonesia sudah mulai menggunakan layanan ini untuk mengakses internet dengan kualitas yang lebih baik. Namun, harga langganan masih tergolong mahal bagi sebagian masyarakat, sehingga akses tetap terbatas. Pemerintah perlu memikirkan skema subsidi atau kerjasama agar teknologi ini bisa lebih inklusif.
Dengan segala tantangan ini, jelas bahwa pembangunan infrastruktur internet tidak bisa hanya mengandalkan proyek jangka pendek.
Masa Depan AI Dan Pentingnya Inklusi Digital
Masa Depan AI Dan Pentingnya Inklusi Digital ketimpangan akses internet yang terus berlanjut akan berdampak serius pada masa depan AI di Indonesia. Tanpa inklusi digital, perkembangan AI hanya akan memperlebar jurang antara kelompok masyarakat yang melek teknologi dengan mereka yang masih tertinggal. Alih-alih menjadi solusi untuk pemerataan, AI bisa memperburuk ketidakadilan sosial jika hanya dinikmati oleh segelintir kelompok.
Untuk menghindari skenario tersebut, ada beberapa langkah strategis yang harus ditempuh. Pertama, mempercepat pemerataan infrastruktur. Internet cepat harus dipandang sebagai kebutuhan dasar, setara dengan listrik dan air bersih. Pemerintah bersama swasta perlu menjadikan pembangunan jaringan internet sebagai prioritas utama, bukan sekadar proyek tambahan.
Kedua, membangun ekosistem pendidikan digital. Talenta AI tidak hanya lahir dari kota besar. Dengan akses yang memadai, anak muda di desa pun bisa belajar pemrograman, data science, atau desain sistem berbasis AI. Pemerintah bisa mendorong program pelatihan nasional berbasis daring, sekaligus memberikan beasiswa dan dukungan perangkat keras untuk daerah 3T.
Ketiga, memastikan regulasi yang adil. Pengembangan AI harus dilandasi etika dan aturan yang melindungi masyarakat dari eksploitasi data. Pemerintah juga perlu memastikan perusahaan teknologi besar tidak memonopoli pasar, sehingga startup lokal memiliki ruang untuk berkembang.
Keempat, mengembangkan solusi AI yang relevan dengan kebutuhan daerah. Misalnya, aplikasi AI untuk pertanian, kesehatan masyarakat, dan mitigasi bencana. Dengan pendekatan ini, masyarakat di daerah bisa langsung merasakan manfaat nyata dari teknologi, sehingga ketertinggalan digital dapat dikurangi.
Kesimpulannya, AI bukan sekadar teknologi canggih yang bekerja di balik layar. Ia adalah alat transformasi sosial-ekonomi yang bisa membawa perubahan besar. Tetapi agar perubahan itu bersifat inklusif, semua lapisan masyarakat harus memiliki akses yang setara ke internet. Tanpa inklusi digital, pengembangan AI hanya akan menjadi cerita keberhasilan di atas kertas, bukan kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dari Ketimpangan Akses Internet.